Menggugat Posisi Pendamping Desa
Dalam Pembangunan Desa, Quo Vadis?
Oleh : Sutrisno Handoko, SE. M Pd
Semenjak disahkannya UU No 6 Tahun 2014 tentang desa yang kemudian diikuti dengan peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan UU no. 6 Tahun 2014 dan dalam aplikasi pelaksanaan undang-undang tersebut kementerian desa secara teknis dalam rangka percepatan pembangunan desa dilakukan pendampingan desa, maka kementerian desa meluncurkan kebijakan berupa Peraturan Menteri Desa PDT dan Transmigrasi No. 3 Tahun 2015 Tentang Pendamping Desa, sebagai pelaksanaan dari PP no. 43 Tahun 2014 Pasal 131 ayat (1) yang berbunyi :
“Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional menetapkan pedoman pelaksanaan pembangunan Desa, pembangunan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pendampingan Desa sesuai dengan kewenangan masing-masing”
Dalam Permendesa No 3 Tahun 2015 tersebut dalam Pasal 1 tentang Ketentuan Umum di sebutkan bahwa Pendampingan Desa adalah kegiatan untuk melakukan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi Desa. Dalam pasal tersebut disebut dalam frasa “Pendampingan Desa” sehingga kata Pendamping Desa adalah dalam artikulasi kebahasaan dimaknai sebagai person/orang yang melaksanakan tindakan pemberdayaan masyarakat melalui asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi desa.
Lebih lanjut dalam Permendasa No. 3 Tahun 2015 pasal 2 dinyatakan bahwa Tujuan pendampingan Desa dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. Meningkatkan kapasitas, efektivitas dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan Desa;
b. Meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan desa yang partisipatif;
c. Meningkatkan sinergi program pembangunan Desa antar sektor; dan
d. Mengoptimalkan aset lokal Desa secara emansipatoris.
Namun dalam Pasal 3 tentang ruang lingkup pendampingan dijelaskan sebagai
berikut :
a. Pendampingan masyarakat Desa dilaksanakan secara berjenjang untuk memberdayakan dan memperkuat Desa;
b. Pendampingan masyarakat Desa sesuai dengan kebutuhan yang didasarkan pada kondisi geografis wilayah, nilai APB Desa, dan cakupan kegiatan yang didampingi; dan
c. Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan Pemerintah Desa melakukan upaya pemberdayaan masyarakat Desa melalui pendampingan masyarakat Desa yang berkelanjutan, termasuk dalam hal penyediaan sumber daya manusia dan manajemen.
Dalam pasal kedua dan ketiga tersebut nampak sekali terjadi ketidak sinkronan antara tujuan dan ruang lingkup dimana dalam tujuan pendampingan adalah meningkatkan kapasitas, efektifitas dan akuntabilitas pemerintah desa dan pembangunan desa serta meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat desa disatu sisi dimana salah satu tujuan tersebut sasarannya adalah pemerintah desa dan masyarakat, sedang di pasal berikutnya ruang lingkup pendampingan tidak menyebutkan sama sekali tentang pendampingan pemerintah desa yang merupakan wilayah teritorial birokrasi pemerintah. Ketidak sinkronan ini menjadi pemicu dalam proses pendampingan desa oleh para pendamping desa.
Masalah-masalah pendampingan kemudian menjadi bola es yang menggelinding semakin membesar dan semakin kusut karena semakin banyak variabel masalah yang belum dipahaminya akar masalah dan pemicu atas masalah-masalah di medan pendampingan desa. Ketidak sinkronan antara tujuan pendampingan dan ruang lingkup pedampingan ini menjadikan semua pihak yang terkait dengan proses pendampingan desa menjadi gamang dalam menentukan posisi sebenarnya pendamping desa dalam proses pembangunan desa. Sehingga dapat diambil sebuah pertanyaan tentang posisi pendamping desa yaitu :
Apakah posisi pendamping desa sebagai tim work dalam birokrasi pemerintah desa, ataukah sebagai second line yang tidak memiliki kewenangan apapun dalam mempengaruhi dan memberi warna pada desa dampingannya?
Quo Vadis
Ketidak jelasan posisi pendamping dalam pendampingan desa ini yang diawali dengan ketidaksinkronan Permendesa tentang pendamping desa terutama di pasal 2 dan 3 tersebut memberikan posisi pendamping menjadi tidak jelas dalam proses pembangunan desa itu sendiri, sementara di lapangan pendamping desa dipandang sebagai salah satu rujukan dalam intepretasi atas regulasi-regulasi tentang desa. Selain itu terhadap setiap masalah pemerintah desa, posisi pendamping desa juga dipertanyakan untuk ikut bertanggung jawab atas suasana masalah pemerintahan desa.
Jika pendamping desa diposisikan sebagai Tim Work bersama birokrasi pemerintah yang terkait dengan pemerintah desa, sejauh mana pendamping desa diberikan kewenangan dalam proses penentuan kebijakan pemerintah desa, sehingga dalam kewenangan ini menjadi jelas kapasitas dan integritas pribadi pendamping serta tanggung jawab pendamping atas produk kebijakan desa dalam pembangunan desa.
Dalam hal terdapat masalah pemerintahan desa karena pendamping memiliki kewenangan dalam mewarnai kebijakan maka sangatlah wajar bila pendamping desa dimintai pertanggung jawaban atas kewajiban yang dilaksanakannnya.
Bila tidak dalam posisi sebagai bagian dari Tim Work birokrasi pemerintah, maka bila pendamping desa dimintai keterangan dan pertanggung jawaban atas masalah pemerintah desa adalah hal yang salah kaprah.
Jika pendamping desa diposisikan sebagai second line dalam birokrasi terkait desa,
maka tugas pendamping desa tidak terkait langsung dengan birokrasi pemerintah desa, hanya menjadi katalisator dalam membangkitkan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan desa, selebihnya tidak memiliki keterkaitan apapun dalam proses pengambilan kebijakan, intepretasi regulasi maupun pengawalan terhadap pelaksanaan pemerintah desa.
Sehingga dalam inti masalah ini hendak diposisikan dimana pendamping desa?
Masalah-masalah berikutnya dalam Pendampingan Desa.
Harus diakui bahwa profesi pendamping desa adalah pekerjaan kemasyarakatan yang menantang kapasitas diri para pendamping desa. Sejauh mana pendamping desa dapat berperan maksimal dalam mencapai tujuan pendampingan desa tergantung kapasitas diri personal pendamping. Pekerjaan pendamping desa harus mampu membaca karakter sosial kemasyarakatan dan karakter pemerintah desa yang didampingi dan bertindak secara cerdas, cerdik dan elegan dalam rangka melaksanakan misi dan tugas pendamping sebagaimana tujuan pendampingan desa.
Namun begitu mudah mencapai kata ideal sebagaimana kata peraturan karena proses
pendampingan ini melibatkan orang yang jelas memiliki kapasitas diri dan kecerdasan dalam menghadapi masalah-masalah pendampingan di masyarakat desa. Bila tidak memiliki kapasitas yang cukup dalam proses pendampingan, maka keberadaan pendamping desa tidak bisa dirasakan oleh pemerintah desa dan masyarakat desa, yang akhirya akan di abaikan begitu saja dalam proses pembangunan desa baik oleh pemerintah desa maupun masyarakat. Sebaliknya jika kapasitas diri pendamping melebihi kapasitas lingkungan dalam pembangunan desa maka akan sering berbenturan dengan birokrasi pemerintah yang terkait pembangunan desa karena obyektifitas dan rasionalitas intelektual belum begitu acceptable dalam dunia birokrasi kita. Pendeknya, kebijakan yang benar atau salah untuk bisa dikritisi akan melaju begitu saja dilaksankaan atas nama kewenangan birokratif.
Sangat wajar bila acapkali terjadi gap antara pendamping di segala tingkatan degan birokrasi yang menyangkut pembangunan desa, yaitu Pertama, Pendamping tidak memiliki posisi yang jelas dalam proses pembangunan desa, sebagai tim work atau sebagai second line, sebagaimana yang menjadi inti masalah yang dibahas di atas. Kedua, terjadinya gap atau perbedaan pengalaman dalam urusan pemerintahan desa dan pembangunan desa. Perbedaan pengalaman ini pendamping dalam kapasitas yang berbeda-beda tersebut menjadi inferior dibanding dengan birokrasi pemerintah terkait dengan desa.
Masalah berikutnya adalah tentang data. Ketika fungsi pendamping adalah sebagai
akselator dalam peningkatan kapasitas, efektivitas, dan akuntabilitas pemerintah desa, maka selayaknya pendamping desa mengkondisikan pemerintah desa agar mampu memberikan pelayanan data yang cepat dan akurat sebagaimana dalam kondisi desa. Permintaan dan pemenuhan data untuk pemerintah lebih atas dari pemerintah desa yang harus dipenuhi oleh pemerintah desa melalui jalur birokrasi pemerintahan yang ada. Namun apabila kebutuhan data yang dicoba tagihkan selalu melalui pendamping desa, maka dari sini siapa pihak yang hendak diberdayakan? Jika kondisi riil ini berlanjut terus menerus, maka berakhirnya profesi pendamping desa tidak menjamin kemandirian desa dalam akselerasi pelaporan dan pelayanan data di tengah maraknya penggunaan tenologi komputer sekarang.
Masalah yang paling menyesakkan dada para pendamping desa adalah manakala terjadi kasus pemerintahan desa yang harus diperiksa oleh APH (Aparat Penegak Hukum). Disatu sisi pendamping desa tidak jelas kewenangannnya dalam proses perumusan kebijakan pemerintahan desa, juga tidak jelas posisi dan kewenangannnya dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah desa, harus ikut merasakan panas dinginnya pemeriksaan dari penyidik. Jika belum jelas posisi pendamping desa mengapa harus disidik dalam keterkaitannya atas segala hal yang memicu munculnya masalah pidana di pemerintah desa?
Pati, 20 September 2021
BIODATA PENULIS
Nama : Sutrisno Handoko
Alamat : Desa Tayu Kulon RT 2 RW 5 Kec. Tayu Kab. Pati
Pendidikan Terakhir : Magister Pendidikan IAIN Kudus
Pekerjaan : Tenaga Pendamping Profesional (P3MD)
Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi
Unit Kerja : Kec. Gunungwungkal Kab Pati
Source Of Menggugat Posisi Pendamping Desa Dalam Pembangunan Desa, Quo Vadis? From all source